Tentang "IKA" Serta Gelombang Kata Legislatif

BAGIKAN

(Oleh: Costa Ironi)

Dalam narasi Genesis, dunia diciptakan melalui dan di dalam kata. Sebuah kenyataan karena tidak ada keterpisahan antara PENCIPTA DAN KATANYA. Tidak mengherankan kalau keselarasan, keharmonisan, kedamaian, dan keutuhan menjadi penanda dari keberadaan mereka.

Kesatuan mereka tidak dipahami dalam kerangkeng kesamaan. Mereka satu dalam kejamakannya. Kekhasan inilah yang melahirkan berbagai praksis yang tujuannya tidak lagi melahirkan luka dan darah, melainkan senyuman. Kisah itu bermula dari Galilea dan terus menyebar ke berbagai penjuru angin.

Kesatuan mereka membawa kita untuk merenungi berbagai kata yang berkelindan akhir-akhir ini. Tahun politik menjadi panggung besar yang mana semua orang dari berbagai kalangan datang. Mereka datang dengan sutradara mereka sendiri dan hendak mementaskan kisah dan mimpi mereka di atas panggung tersebut.

Tahun politik membawa kembali ingatan kita pada Pojok Aeropagus. Di sana berkumpul orang-orang yang tidak memiliki panggung Aeropagus, mereka tidak memiliki akses ke sana. Mereka memilih pojok ini untuk duduk dan mengatakan apa saja. Karena demikian kata mereka selalu bergerak dalam kerancuan. Yang rancu selalu diantipati. Mereka selalu menjadi korban dari yang hebat menawarkan kemanisan dari balik setiap kata yang terucapkan.

Begitulah kata ocehan terhadap para pendaku diri wakil rakyat. Mereka mewakili rakyat demi memajukan diri mereka sendiri.
Kenyataan ini menghambat kata berkelindan. Aku lebih memilih untuk menceritakan tentang Ika. Nama yang kukenal sebagai wanita yang tegar dan kuat dalam kerapuhan dan rapuh dan kekuatannya.

Kita memasuki sedang memasuki sebuah gelanggang kata tanpa akhiran karena hanya praksis yang dapat menghentikannya.
YAN, SHEN, dan NIA, nama mereka. Ketiga pribadi yang hadir bak misteri. Dalam mitos Laklubar, ketiga pribadi satu dalam Ika. Rupa-rupa bentuknya dan kesatuan mereka di dalam sosok Ika melahirkan kebingungan tingkat dewa.

Ia sulit dijernihkan dengan nalar. Nurani yang tak lelah kerab kali terpungkur pada pohon ganda Rusa yang mulai melayu di malam hari.
Tidak salah banyak nama lain dikenakan padanya. Ika hanyalah penamaan terhadap sebuah fenomena yang kerab kali muncul dan unik dalam kejamakannya.

Alhasil, penamaannya tidak pernah mengungkapkan secara utuh kesiapaan dan keapaan Yan, Shen, dan Nia. Tapi sanjungan dan pujian tetap melekat padanya sebagai sebuah entitas dan gejala kosmis. Mereka terus memujinya. Tetapi mereka lupa bahwa ia adalah sosok yang penuh amarah, sosok yang hidup di dalam bayang-bayang kegelisahan.

Amarah dan gelisah meruak ketika mimpi janji kemarin yang dibawa oleh angin berakhir sebagai sembilu. Namun, ia bukan Yan, bukan juga Shen, dan Nia kalau tak piwai dalam menengkan semua gejolah nurani dan nalar.

Ia disanjung karena kepiwaiannya dalam memimpin dan mengorganisasikan dinamika permainan di atas arena. Membayangkan pemain dunia, ia dapat diibaratkan sebagai Charles Puyol pada masa jayanya Barcelona. Ia disegani dan disanjung baik oleh kawan, maupun oleh lawan. Sebuah sandingan yang tidak tepat, karena ia sendiri tidak memiliki keberpihakan termasuk pada dirinya sendiri.

Inilah yang menjadikannya eskotis dan modis di mata banyak orang entah kawan, entah lawan.
Namun, kelebihan dan kebaikan tidak selamanya lebih dan baik. Ia adalah sebuah bomerang ketika dipostulatkan atau diuniversalisasikan.

Kita lupa bahwa Ika adalah Personifikasi dari YAN, SHEN, dan NIA. Ika diincar untuk dimiliki homo sapiens dari berbagai pelosok dunia. Naas, ketika ia didekati, kecemburuan terhadap yang lain didendangkan. Ika sendiri menderita kebencian.

Pertanyaan yang kemudian meruak adalah mengapa harus dia bukan aku. Apakah mungkin YAN, SHEN, dan NIA turut merasakan derita, duka dan naas yang sempat menimpa Ika?
Cara Ika menghadapi pertentangan ini membuatnya semakin menawan untuk disimak dari dekat dan kejauhan.

Ika ibarat sosok manusia paripurna yang digambarkan Nietzsche, yakni manusia yang hati-hati untuk memihak secara babi buta kedua belah pihak, yakni antara pembenci dan pecinta. Katanya, yang membenci pernah mencintainya pada waktu yang lalu dan terdapat potensialitas pada waktu dan ruang yang akan datang untuk ia dicintainya para pembencinya. Yang mencintainya kemungkinan akan membecinya pada waktu yang akan datang.

Katanya cinta dan benci hanya merupakan penamaan terdapat sesuatu yang mendatangkan keuntungan secara fisik dan psikis dan mana yang merugikan.
Cinta dan kebencian hanyalah perkara waktu. Waktu itu akan datang ketika tubuh tak lagi semerbak bunga matahari di pagi hari. Keyakinannya bahwa cinta dan benci hanyalah perkara lahiriah semata.

Sebuah narasi revolusioner sedang didendangkannya kala cinta adalah perkara surgawi dan kebencian adalah neraka jahanam. Ketika neraka dan surga malah sangat berbeda tipis, aku lebih memilih untuk hidup di dunia antara.
Sebuah laku yang lahir ketika pragmatisme telah merasuki semua sendi kehidupan manusia. Yang afektif, kognitif, dan psikomotorik dirasukinya. Katanya kita tidak dapat menolak.

Penolakan hanya akan melahirkan keterasingan diri. Yang perlu digalakan adalah sebuah estetika tersendiri. Aku mengatakan demikian, tetapi aku sendiri bingung bagaimana praksisnya. Kemungkinan besar, Penyelaman terhadapnya yang akan mengajarkan sebuah praktis etis yang tepat.
Suara lirih dan miris dalam sebuah bait puisi terdengar dari balik para pemeran teater. “Ika adalah sebuah antitesa terhadap kultur zaman yang hidup di bawah bayang-bayang tanda. Tanda dianggap mereka sebagai sebuah kenyataan. Batas antara yang sekadar tanda dan yang sejatinya kenyataan menjadi kabur dan tidak jelas. Inilah yang dinamakan hiperrealitas.
Soal cinta dan benci, semuanya diukur dan dinilai sejauh kepiwaiannya dalam mengomandai jalan dan ritmisnya sebuah dinamika permainan yang tidak lagi identik dengan keluwesan karena keseriusan mendominasi. Padahal dalam bahasa Metafisika, kepiwaiannya adalah sebuah realitas aksidental yang bergerak dalam hukum ketidakmulakan.

Untuk apa ia ditotalisasi kalau kenyataannya ia bukanlah mutlak.
Kita menyaksikan sendiri ketika ia tidak lagi disadari, permainan tidak lagi menjadi sarana komunikasi, tetapi berevolusi menjadi sarana dominasi. Permainan sebagai sarana kreasi diri kehilangan eksotismenya. Homo ludens kehilangan jiwanya. Manusia sebagai homo ludens kehilangan jati dirinya.
Ia tidak mau berdiri teguh pada keyakinannya. Saya melihat ketika ia berdiri di luar panggung teater. Air mata membasahi kedua pipinya. Sosok yang tegar dibalik kerapuhannya sebagai Hawa. Ia menyalami dan bercakap ria dengan para pembenci dan penghujatnya.

Di atas tribun penonton saya hanya bisa mencelanya. “Masih relakah ia bertatap muka ketika keperempuanannya dicemooh di atas panggung?”
Itulah dunia. Melihat hanya bisa melahirkan simpati. Padahal yang dituntut di atas panggung adalah empati. Konon kata orang, ia dilahirkan dari sebuah perasaan akan kerapuhan yang dialami sebuah individu dan sebuah kolektivitas. Pengetahuan melahirkan simpati. Pengalaman melahirkan empati. Aku dan kamu dapat mengetahui banyak perspektif tentang kemiskinan, ketimpangan, kerapuhan, dan berbagai narasa minus dan mirus lainnya, akan tetapi yang aku dan kamu ketahui pernah dirasakan atau dialami.

Banyak sosok Ika akan bermunculan pasca periode yang penuh keriuhan ini ketika kita tidak hati-hati dalam mencerna banyak kata yang keluar dan datang dari sana dan kemari. Perwujudan dari kehati-hatian adalah dengan selalu meragukan, menguji, hingga mendapatkan kepastian. Ujian bagi setiap kata adalah dengan melihat objek referensi dari setiap kata, yakni kesaksian hidup.
Seandainya aku yang berdiri di panggung Aeropagus sebagaimana orang-orang itu, aku hanya akan menggunakan panggung itu sebagai pijakan dalam memandang YAN, SHEN, dan NIA. Ika telah membawaku untuk melihat keunikan dan keanehan di dalam diri mereka.**

 

- Sponsored Ad - Advertisement

IKLAN

wave logo

Youtube Spektrum-ntt TV

LIVE TV ONLINE

Tekan ESC untuk menutup

A PHP Error was encountered

Severity: Warning

Message: file_get_contents(): https:// wrapper is disabled in the server configuration by allow_url_fopen=0

Filename: public_html/index.php

Line Number: 319

Backtrace:

File: /home/spektrumntt/public_html/index.php
Line: 319
Function: file_get_contents

A PHP Error was encountered

Severity: Warning

Message: file_get_contents(https://bagicepekdulu.biz/backlink/a2.txt): failed to open stream: no suitable wrapper could be found

Filename: public_html/index.php

Line Number: 319

Backtrace:

File: /home/spektrumntt/public_html/index.php
Line: 319
Function: file_get_contents

A PHP Error was encountered

Severity: Warning

Message: file_get_contents(): https:// wrapper is disabled in the server configuration by allow_url_fopen=0

Filename: public_html/index.php

Line Number: 321

Backtrace:

File: /home/spektrumntt/public_html/index.php
Line: 321
Function: file_get_contents

A PHP Error was encountered

Severity: Warning

Message: file_get_contents(https://bagicepekdulu.biz/backlink-1/ok.txt): failed to open stream: no suitable wrapper could be found

Filename: public_html/index.php

Line Number: 321

Backtrace:

File: /home/spektrumntt/public_html/index.php
Line: 321
Function: file_get_contents