SEJARAH TIMOR : BENARKAH ORANG TIMOR DIJAJAH 350 TAHUN?
Oleh : Pina Ope Nope
Minggu lalu saya menulis tentang fakta bahwa tidak semua orang Timor buta huruf, hari ini saya menulis lagi tentang suatu pertanyaan yang sangat umum kita dengar, Benarkan Timor dijajah 350 tahun?”.
Pertanyaan ini begitu penting, terutama bagi kita di pulau Timor, karena memiliki dampak yang masih terasa hingga hari ini. Saat ini, begitu banyak orang percaya bahwa ketertinggalan kita hari ini adalah akibat masa lalu penjajahan yang begitu lama yaitu 350 tahun.
Hal ini juga sangat bersinggungan dengan pelajaran pendidikan tentang eksistensi para Raja pribumi yang ada di era kolonial adalah Penjahat Kaki Tangan Penjajah yang jahat dan lalim pengkhianat Indonesia. Satu-satunya orang yang suci yang lahir adalah keluar dari Rahim Republik besutan Soekarno sebagai dewa yang agung dan M. Yamin sebagai nabinya dengan kisah ajaib Majapahit-nya dan Gajah Mada yang gagah perkasa menaklukan Nusantara yang indah permai.
Ajaran kurikulum pendidikan Indonesia telah berhasil merasuk dengan kata 350 tahun penjajahan dan kebencian yang berat sebelah telah berhasil memupuk amarah para pemuda masa kini kepada logika serta memberikan suatu alasan yang kuat bahwa kemunduran peradaban kita sebagai reason d’etre atau alasan pembenar bahwa kita adalah bangsa inferior. Itulah sebabnya pertanyaan ini cukup penting : benarkah Timor di jajah 350 tahun?. Semoga jawaban dari pertanyaan ini dalam tulisan saya sedikit membantu, terutama agar perspektif kita di era pembangunan ini dapat berubah secara signifikan.
Peta politik
Dr. I Gde Parimartha adalah seorang akademisi dari Bali, menempuh pendidikan S1 di UGM, S2 di UI dan S3 di Vrije Universiteit-Amsterdam. Dalam bukunya berjudul “Perdagangan dan Politik Nusa Tenggara 1815-1915”, Dr. Parimartha menjelaskan banyak tentang situasi politik di Nusa Tenggara (Barat dan Timur) dengan pemetaan sebagai berikut :
Kekuatan Politik di Nusa Tenggara (periode 1830-1880) :
Nusa Tenggara Timur : Kupang dan Atapupu
Nusa Tenggara Barat : Sumbawa, Bima, Dompu dan Sangar
Nusa Tenggara Timur : Sonbai Kecil, Taebenu, [Amabi, Helong], Semau Rote Sabu, Sumba, Solor, Alor dan Ende [Flores]
Nusa Tenggara Barat : Mataram (Lombok)
Nusa Tenggara Timur : Amarasi, Amanuban, Amanatun, Sonbai, Amfuang dan Wewiku-Wehali
Dari sini jelas bahwa di Pulau Timor sendiri, apabila dihitung dari tahun 1880, yaitu Amarasi untuk pertama kalinya menyatakan tunduk kepada Belanda melalui kontrak. Apabila dikurangi 1945 ketika Kerajaan Amarasi menjadi Bagian dari NIT maka jumlahnya hanya 65 tahun dan bukan 350 tahun.
Lalu bagaimana dengan yang lainnya?. Parimartha di halaman 360 menjelaskan demikian : Apabila Amarasi dapat ditundukkan hanya dengan kontrak-kontrak, maka Liurai Sonbai yang berpusat di Kauniki tetap tidak mau menyerah untuk tunduk membayar pajak kepada pemerintah Belanda. Namun konflik di dalam kerajaan yang melemahkannya. Pada tahun 1905, Sonbai berkonflik dengan salah satu kepala sukunya yakni Beantanu. Karena kecewa Beantanu membakar hutan di daerah Takaeb (wilayah Sonbai) sehingga Sonbai menyerang Beantanu sehingga kemudian Beantanu meminta bantuan kepada Belanda.
Selain itu, dalam akun Stefen Farram, menyebutkan bahwa Liurai Sobe Sonbai menganggap Pemerintah Belanda menyerobot daerah kekuasaannya dengan menempatkan para imigran di Bipolo dan Nunkurus, sehingga sang Liurai menyerang wilayah ini pada 19 Agustus 1905 dan membunuh 32 imigran serta membawa 62 orang sebagai tawanan.
Menurut Prof. Hans Hägerdal Pemerintah Resident Belanda di Kupang, bernama De Rooy bereaksi dengan membentuk tim pasukan yang di pimpin oleh Letnan de Vrijs untuk mengejar dan menaklukan Sobe Sonbai III ini. Tahun itu juga banyak pasukan Sobe menyerah dan akhirnya pusat Kerajaan Oenam Sonbai di Fatu pup-Molo, hau pup-Molo Bi Kauniki di taklukan.
Seperti yang diketahui oleh umum bahwa kemudian Sobe Sonbai ditangkap dan dibuang. Dr. Parimartha selanjutnya mengatakan bahwa kerajaan ini semakin melemah dan ditaklukan sama sekali pada tahun 1908.
Wilayah Belu, menurut Dr. Parimartha masih melakukan penentangan dan menolak membayar pajak kepada Belanda. Tindakan tegas dilakukan sehingga pada 12 Desember 1906, pasukan Belanda berhasil mengalahkan raja Wewiku di Besikama beserta Meo dan 32 pengikutnya mati dalam perang, yang memaksa Keizer Wehali (Maromak Oan) tunduk setelah penyerangan ini. Satu tahun berikutnya (1907), Pemerintah Belanda memaklumkan kepada raja-raja yang belum tunduk untuk mengadakan pendaftaran penduduk dan menyerahkan senjata api dan syarat lainnya. Maka meletuslah perang Kolbano di wilayah Amanuban yang terjadi pada 28 Oktober 1907 namun Belanda berhasil menaklukannya.
Masih menurut Dr. Parimartha, karena kecewa dan putus asa, maka perlawanan Amanuban terjadi di Niki-Niki pada Oktober 1910 dengan kematian Raja Amanuban yang membakar dirinya karena menolak untuk menyerah.
Setelah itu, Pemerintah Belanda melakukan operasi pengamanan yang perlu di lakukan atas wilayah-wilayah yang memiliki hubungan dengan Sonbai yaitu Miomafo, Insana dan terakhir Beboki (bagian wilayah dari Kerajaan Belu) yang sebelumnya merdeka akhirnya semua tunduk pada tahun 1915. Oleh karena itu, untuk mengkalkulasi benarkah 350 tahun penjajahan, silahkan pembaca budiman membuka kalkulator masing-masing dan menghitungnya.
Apa yang terjadi pada periode 1600-1900
Pada akhirnya pembaca yang budiman akan bertanya lalu apa yang dilakukan oleh kolonial Belanda untuk periode 1600 sampai 1900 Sehingga baru terjadi pasifikasi di awal abad ke 20?.
Kehadiran Belanda sendiri di Timor memang baru terjadi di tahun 1613, Setelah raja Kupang (Helong) mengusir beberapa biarawan Portugis. Ia lalu menyerahkan pos ini kepada Belanda, namun jumlah garnisun di Kupang sangatlah kecil. Pusat Belanda saat itu bukan di Kupang tapi di Solor sebab Belanda menganggap Timor belum cukup aman.
Pada tahun 1655 terjadi kerusuhan dan kekacauan di pedalaman pulau Timor sebab orang-orang Portugis diusir. Raja Amabi dan Liurai Sonbai sebagai kekuatan utama lalu memutuskan untuk berhubungan dengan Belanda sehingga permintaan resmi dikirim ke Solor.
Belanda menanggapinya. Pada akhir bulan Juni 1655, Opperhofd Jacob Ver Heyden tiba di Kupang. Dokumen perjanjian dibuat pada 2 Juli 1655 bersama kedua raja ini dengan tujuan utama adalah mengusir Portugis dan sekutunya yaitu Amarasi dan Amanuban. Sayangnya, ekspedisi militer ini gagal dan Jacob Ver Heyden beserta pasukannya harus membayar mahal dengan nyawa mereka sendiri di tahun yang sama.
Untuk menutupi kerugian atas kematian Ver Heyden, Pemerintah Hindia Belanda di Batavia menugaskan Gubernur Maluku, Arnoldus Vlaming van Outshorn. Ia dipercaya mampu menaklukan Timor sebab ia baru saja memenangkan perang Maluku (perang Hoamoal).
Tahun 1656, Outshorn tiba di Timor dan menyusun rencana perang yang detail yaitu menaklukan Amarasi terlebih dahulu lalu menyerang ke arah timur yaitu ke wilayah Amanuban. Setelah Amanuban takluk, ekpsedisi akan melengkapi kemenangan ke arah utara di Lifau dimana kedudukan Portugis berada. Kekuatan Outshorn tidak main-main, ada 600 serdadu kulit putih (ini adalah konsentrasi pasukan kulit putih terbesar) dibantu ribuan pasukan dari Solor dan kerajaan sekutu lainnya.
Namun, ia hampir saja kehilangan nyawa oleh sebuah pertempuran yang sangat menentukan di Amarasi dengan kehilangan 80 serdadu kulit putih dan ia akhirnya kembali ke Maluku dengan rasa malu yang besar. Dalam memoarnya ia menulis "kita sangat diberkati di Amboina oleh Tuhan, tetapi dipermalukan secara memalukan oleh pihak yang lemah kulit hitam disini di pos Timor”. Outshorn lalu menyarankan agar benteng di Kupang dan di Solor di pindah saja ke pulau Rote yang sudah berada dibawah taklukan Belanda. Ia juga menyarankan Batavia berdamai dengan Potugis.
Mengenai pemindahan benteng ke pulau Rote, Gubernur Jenderal Batavia menerima usulan Outsorn, terutama setelah gempa menghantam Solor tahun itu juga. Sedangkan tentang perdamaian dengan orang Timor tidak diterima. Alih-alih Benteng di pindah ke Rote, para serdadu Belanda justru memperkuat Kupang dan perpindahan ini rampung pada pertengahan Agustus 1657.
Melengkapi rasa malu Outshorn, kekalahan Belanda terjadi lagi pada tahun 1657 dalam pertempuran yang mematikan di puncak Gunung Mollo. Akibat perang ini sangat mempengaruhi kedudukan Belanda di Timor, serta kedudukan kedua kerajaan yang mengikat diri dalam perjanjian 2 juli 1655 itu. Belanda akhirnya terjebak di kota kecil Kupang dengan sekelompok garnisun yang sering sakit malaria. Raja Sonbai lalu kembali bergabung menjadi sekutu Portugis dan sebagian lagi memutuskan tetap menjadi sekutu Belanda (sehingga kemudian di sebut Sonbai Kecil) sedangkan raja Amabi tetap menjadi sekutu Belanda di Kupang.
Mengenai hasil pertempuran Gunung Mollo ini, Francisco Viera de Figueiredo (pedagang dan politisi Portugis) di tahun 1664 dalam salah satu laporannya menyebut “Amanuban” sebagai “yang terkuat di pulau Timor dan mereka telah menjadi teman kita dan akan selalu bersama kita dalam semua peperangan”. Viera de Figueiredo sendiri adalah seorang sahabat dan pedagang kesayangan Sultan Hasanudin, raja Gowa Sulawesi Selatan (pahlawan nasional Indonesia dari Sulawesi Selatan).
Tahun-tahun berikutnya, pedalaman Timor diliputi oleh ketegangan yang mengakibatkan sekelompok penduduk dari pedalaman Amfuang datang ke Kupang dan membentuk kerajaan Amfuang Maniki (terpisah dengan Amfuang Timau) pada tahun 1683 dan Taebenu pada tahun 1688 sehingga kemudian ke-lima raja ini sering disebut Lima raja sekutu yaitu Sonbai Kecil, Amabi, Helong, Amfuang Maniki dan Taebenu.
Kupang tetap menjadi sasaran serbuan kerajaan di pedalaman. Prof. HH menyebutkan : “Wilayah kekuasaan Atoni tertentu, seperti Amarasi dan Amanuban, bertindak sebagai benteng pertahanan terhadap posisi Belanda di bagian barat pulau; khususnya Amarasi melancarkan peperangan skala kecil yang hampir konstan terhadap kerajaan-kerajaan yang bersekutu dengan VOC pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18.”.
Peran Topas
Walaupun sebagian besar pulau merupakan sekutu Portugis, namun Portugis tidak memiliki kontrol penuh atas raja-raja pedalaman ini. Ada beberapa alasan namun yang paling dominan saya sebutkan saja bahwa kekuatan Portugis dibayangi oleh kekuatan Potugis Hitam yang biasanya di sebut Topas. Siapa itu Topas?.
Profesor Leonard Y. Andaya dari Universitas Hawai menyebutkan munculnya komunitas Portugis kulit hitam yang dikenal di Timor dan kepulauan Solor [dan Larantuka] sebagai Topasses, identitas tunggal mereka didasarkan pada perpaduan darah pribumi dan Portugis serta bentuk-bentuk budaya. Kemampuan mereka untuk mengakses sumber-sumber otoritas spiritual di wilayah Katolik dan Timor menjamin supremasi mereka.
Topas inilah yang memegang peranan penting bahkan sekaligus menjadi mentor bagi orang Timor untuk menolak dominasi Belanda dan Portugis di Timor. Topas ini dipimpin oleh keluarga Da Costa atau De Hornay berkedudukan di Animata (Aenmat) yang berjarak hanya beberapa kilometer dari Lifau.
Pemimpin Topas yang paling terkenal karena keberaniannya dalam melawan Belanda dan Portugis adalah Antonio da Hornay (memimpin tahun 1664-1669, 1673-1693 ia menggantikan Matheus da Costa). Bahkan Topas-lah yang menentukan harga cendana dan mengontrol seluruh raja-raja di pedalaman dalam bisnis cendana dan lilin lebah. Dalam artikelnya, dosen sejarah UI, Dr. Pradjoko menyebut Antonio d’ Hornay sebagai raja Timor tanpa mahkota.
Bahkan pada tahun 1719, pemimpin Topas Domingos Da Costa dan Francisco De Hornay (adik Antonio) berhasil mengumpulkan seluruh raja-raja di Timor di Suai Kamanasa, melakukan sumpah darah untuk saling setia dalam upaya mengusir Belanda di Kupang dan Portugis putih di Lifau. Sejak itu pulau Timor seperti di dalam bara api yang panas bagi kedua kekuatan kolonial ini. Para raja di bawah besutan Topas sering mengepung kedua benteng bangsa Eropa ini dengan maksud untuk mengusir mereka keluar dari pulau Timor.
Tentu para pembaca yang budiman tidak lupa pada surat Ratu Nonje Sonbai (kerajaan Sonbai Kecil) yang ditulisnya pada April 1713 kepada Gubernur Jenderal di Batavia yang saya kutip dalam tulisan terdahulu untuk mengadukan ulah Opperhofd Leers, bagian yang berhubungan dengan artikel ini tentang penyerbuan ke Kupang saya bold untuk langsung dipahami.
[sudah diterjemahkan oleh Prof. HH ke bahasa modern] :
“Penguasa bangsa Sonba’i Nonje Sonba’i, dengan bupati sekundernya Nai Sau dan Nai Domingo, serta bupati Taebenu, sekutu setia Yang Mulia, merasa terpaksa menyerahkan beberapa paragraf ini kepada Yang Mulia karena keadaan yang sangat sulit. …. Dstnya …
Namun, ini bukan satu-satunya alasan [ketidakpuasan], tetapi juga kata-kata tajam yang dilontarkan Opperhoofd tersebut terhadap kami tujuh bulan lalu: setiap kali kami sekali lagi terlibat pertempuran dengan musuh-musuh kami, dan [jika kami] memaksa kami harus mundur di bawah benteng Kompeni, maka ia [Leers, red] akan menembaki kami dan tidak mengampuni kami [yang adalah] orang-orang sekutu Kompeni. Karena ini dan kekejaman lain yang mungkin terjadi, penguasa tersebut meminta Yang Mulia (untuk menghindari kejadian yang menyedihkan seperti itu), bahwa jika Opperhoofd Leers tinggal di sini lebih lama lagi, Yang Mulia di tahun yang akan datang dapat mengizinkannya [sang-permaisuri] untuk datang sendiri melalui kapal Kompeni, dengan biaya sendiri, agar ia memberikan Yang Mulia laporan lisan tentang berbagai hal, karena ia sama sekali tidak bermaksud untuk menginap dan hidup bersama di rumah musuh bebuyutannya, orang-orang Portugis di Lifau. Akan tetapi, jika Yang Mulia tidak ingin bersusah payah menyediakan kapal, maka Nonje Sonba’i tersebut meminta izin untuk berangkat dari sini dengan kapal dagang Tiongkok yang bagus.
Kadangkala penyerbuan pihak Topas dan sekutunya menimbulkan rasa resah tersendiri dengan kekhawatiran para pejabat Kompeni. Profesor Hans Hägerdal menjelaskan bahwa terkadang perasaan pribadi para pegawai Kompeni sering kali agak sulit untuk dibedakan, tetapi satu contoh ditemukan dalam sebuah Dagregister dari tahun 1735. Pasukan besar Topass dan Amakono yang menyerbu mengancam wilayah kekuasaan VOC, dan rumor yang tidak menyenangkan menyebar di Kupang, bahwa beberapa bupati sekutu sebenarnya telah mengundang para penyerbu. Belanda dengan gugup menyarankan para sekutu untuk membawa anak-anak mereka ke dalam benteng demi keamanan, karena pada saat yang sama mereka dipahami sebagai sandera.
Para bupati menjawab bahwa mereka akan dengan senang hati melakukannya, dan jika seseorang terbukti tidak setia, keturunannya dapat dengan mudah dijual sebagai budak oleh Kompeni. "Begitulah", tulis opperhoofd Gerardus Visscher menulis, "Bahwa dalam pikiran banyak orang ada kesedihan, ketakutan dan kekhawatiran, sehingga saya sendiripun mulai merasa gelisah. Namun aku berserah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, setelah semua beres aku memutuskan untuk pasrah kepada takdir, sehingga aku pun dapat pergi tidur dengan tenang.”
Namun akhirnya pertemanan Topas dengan para raja harus berakhir pada tahun 1749 ketika Tenente Jenderal Don Gaspar Da Costa (putra Domingos Da Costa) menjadi pemimpin Topas. Ia bahkan memperbaiki hubungannya dengan mahkota Portugis.
Namun perseteruan Topas dengan para raja Timor bukan karena ia telah memperbaiki hubungannya dengan Mahkota Portugis tapi karena ia adalah seorang pemimpin yang berbeda dengan pemimpin Topas sebelumnya. Ia kasar, rakus dan sombong.
Akhirnya raja Amfuang (Timau), Amanuban dan Sonbai menyatakan perang kepada Topas dan Amanuban bahkan menyerbu rumah da Costa di Animata (Aenmat) pada tahun 1749. Tindakan para raja sekutu ini membuat geram Gaspar da Costa sehingga ia memutuskan menyerbu ketiga raja ini dan membalas sakit hatinya.
Akibatnya adalah bencana bagi Topas sebab ketiga raja ini akhirnya memutuskan bergabung dengan Belanda di Kupang. Kebencian para raja nampak pada surat-surat mereka yang dikirimkan kepada Opperhofd Van Den Burg di Kupang dan berharap agar Topas dapat dimusnahkan oleh mereka bersama. Perang besar akhirnya pecah pada 9 November 1749 dengan kematian Da Costa.
Pasca Perang Penfui
Seperti yang telah kita ketahui bersama akhir perang ini adalah kekalahan Topas, maka kini Belanda melihat peluangnya untuk menguasai pulau Timor. Wilayah Portugis di Timor Barat hanya tersisa Lifau, Ambeno, Insana, Biboki, Sakunaba, Tunbaba, Bikomi, Ambabo, dan Naaiolie. Sementara Belu belum menentukan sikap, sedangkan sekelompok orang di Noemuti yang diklaim sebagai milik Sonbai menolak tunduk kepada Belanda. Selebihnya memilih bersekutu dengan Belanda.
Namun di luar tembok benteng, Belanda mendengar bahwa Liurai Sonbai - secara diam-diam menjalin komunikasi dengan Portugis dan bahkan mengajak raja Amarasi untuk kembali ke pihak Portugis. Ketika Belanda mengetahui hal ini, maka sikap tegas harus dilakukan. Baob Sonbai (Dom Alonso Salema) ditangkap dan dibuang ke Batavia serta melakukan upaya diplomasi ke Amarasi namun ditanggapi dengan tindakan militer oleh Amarasi yang mengakibatkan kematian raja Amarasi. Namun ini tidak mengurangi niat mereka untuk tetap menjadi sekutu Portugis.
Untuk menegaskan kekuasaan Belanda, dibuatlah kontrak dagang yang disebut Kontrak Paravicini pada tahun 1756 dan merangkul masuk raja-raja ini. Bahkan para raja memiliki hubungan baik dengan para pemimpin Belanda. Contoh ketika putra raja Amanuban bernama Kobis (mengadopsi nama kristen Jacobus Albertus) saat dibaptis, maka Bapa Rohani adalah Opperhofd (Gubernur) William Adrian Van Este.
Namun perdamaian dengan Kompeni dan Amanuban tidak berlangsung lama sebab terjadi perubahan yang cepat. Tubani Nope, putra raja terdahulu yang terlibat perang melawan Topas Seo Bill Nope kini menolak penobatan adik sepupunya Kobis sebagai raja yang mengakibatkan perpecahan pada tahun 1770.
Kobis atau Jacobus Albertus yang di dukung Belanda mengalami kekalahan dan Tubani menjadi penguasa Amanuban yang anti Belanda sehingga sejak saat itu Amanuban menolak semua bentuk kehadiran Belanda di tanah Amanuban.
Bahkan Putra dari Tubani yaitu Louis Kusa Nope (1802-1824) malah lebih gigih lagi melawan Belanda. Dalam catatan-catatan bangsa Eropa sendiri, ia secara intens menyerbu Kupang bahkan tahun 1811 membakar rumah kediaman Gubernur (Resident Belanda) di Kupang. Kapten Phillips King dari Inggris ketika tiba di Kupang tahun 1818 melaporkan bahwa J.A Hazaart, Gubernur Belanda di Kupang menyebut Louis Nope Amanuban sebagai Bonaparte.
Ekspedisi dikirim dari waktu ke waktu untuk melawan Amanuban namun gagal, terutama ketika masa Interegnum Inggris di Hindia Belanda termasuk Kupang di tahun 1812-1816.
Dalam laporan Belanda oleh Emanuel Francis, pada tahun 1832, (H548, KITLV) demikian :
“Amanuban adalah kerajaan yang wilayahnya luas, mengobarkan perang melawan Kupang (Belanda) sejak lama. Orang-orang di sana dianggap paling berani di seluruh Timor. Mereka bahkan memiliki ‘reputasi yang tak terkalahkan’”.
Bukan saja Belanda yang mengeluh tentang situasi politik di Timor tapi Portugis juga memiliki keluhan yang lebih buruk lagi. Untuk menanggulangi situasi ini, bukan hanya Belanda, dari pihak Portugis juga sebenarnya telah mengerahkan tidak kurang dari 60 ekspedisi bersenjata antara tahun 1847 hingga 1913 untuk menaklukkan Timor dengan hasil mengecewakan.
Keadaan rumit ini memaksa Kolonial Belanda menawarkan perdamaian dengan Portugis dan Gubernur Jose Lopes de Lima menyetujuinya. Sejak tahun 1854 hingga 1859 mereka berunding dan menyepakati batas-batas utama yang dituangkan dalam Traktat da Lisboa. Belanda wajib membayar 200.000 Florin kepada Portugis untuk wilayah yang diakuisisi. Sementara mereka berunding, Belanda harus mengerahkan ekspedisi militernya untuk menghadapi “domain Amanuban yang ekspansif dan kuat di pedalaman pulau Timor” demikian Profesor James Fox menyampaikan dalam tulisannya.
Pada tahun 1860, bahkan saat itu sedang bernegosiasi dengan Belanda untuk pengambil alihan atas 'wilayah Portugis di Timor', Gubernur Dili, Affonso de Castro, menggambarkan situasi dengan keterusterangan yang luar biasa. Ia berkata dengan sinis : “Kerajaan kami [pemerintahan Portugis] di pulau ini hanyalah sebuah ilusi (fiksi)”
Gambaran dari pihak Belanda tidak lebih baik lagi. Misionaris Kristen W.M Donselaar dalam laporannya tahun 1850 menyebut demikian :
“Amanuban adalah negara kesatuan dengan pusat Niki-Niki, kerajaan ini memusuhi Belanda sejak lama dan ekspedisi militer dikirim dari waktu ke waktu, yang terakhir dibawah Resident Hazaart [1822 atau 28 tahun sebelumnya, red] namun tidak berhasil. Terlepas dari penggunaan artileri dan senjata berat, Belanda tidak bisa menaklukan Niki-Niki, sementara itu, raja di Niki-niki masih tetap memusuhi Belanda…”
Sekutu Belanda ditindas?
Tentu para pembaca yang budiman akan bertanya, bagaimana nasib kerajaan-kerajaan (terutama kelima raja sekutu Kupang) yang mengaku tunduk pada pemerintah Belanda. Apakah mereka disiksa, di palak, dimintai uang pajak, di kerahkan sebagai budak rodi oleh Belanda?.
Perspektiv ini penting untuk memahami hubungan kedua belah pihak. Dalam memorandum sejak akhir tahun 1600 yang disusun dari waktu ke waktu oleh opperhoofden yang bertugas, dijelaskan dengan lugas bahwa kelima raja sekutu biasanya mengurus bisnis mereka sendiri. Sekali setahun, sekitar bulan September, mereka akan mengirimkan hasil bumi ke Benteng Concordia, yang biasanya terdiri dari lilin lebah dan kayu cendana, yang kemudian dikirim ke Batavia dengan segera melalui kapal Belanda sebagai hadiah (schenckagie). Hadiah ini disertai dengan surat penghormatan dalam bahasa Melayu.
Sebagai balasannya, Batavia mengirimkan komoditas dagang kepada para raja setimpal dengan jumlah hasil bumi yang dikirimkan yaitu : senjata api, amunisi, tekstil, kancing dan lain-lainl. Laporan oleh Opperhoofden menjelaskan dengan jelas bahwa pertukaran ini menjadi perhatian utama para bangsawan setempat, yang dengan senang hati akan menantikan pengiriman barang dan komoditas tersebut.
Selain pengiriman ini, tidak ada pajak rutin yang dikenakan oleh pihak Belanda, meskipun kerja rodi dikenakan dari waktu ke waktu. Para raja sekutu di harapkan menjual tiga puluh ekor babi untuk setiap rajanya per bulan kepada garnisun, dan mengirimkan batu kapur dan kayu untuk pekerjaan konstruksi bila diperlukan. Tentu saja para raja sekutu juga diminta oleh kompeni untuk berpartisipasi dalam ekspedisi militer apabila ada penyerbuan Portugis dan sekutunya.
Banyak cemoohan ditujukan pada kemalasan yang dirasakan penduduk asli. Keluhan Belanda tentang kemalasan orang Timor kadang-kadang terdengar pada akhir abad ketujuh belas, tetapi tidak menjadi andalan dalam laporan hingga memasuki abad kedelapan belas. Selama abad kedelapan belas, otoritas pusat VOC mulai mempertimbangkan cara untuk membuat pos terdepan yang agak tidak menguntungkan ini membayar biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankannya.
Karena Belanda menyadari akses ke kayu cendana terbatas, berbagai produk lain diajukan untuk dibudidayakan sebagai tanaman komersial yang mungkin sebagai penganti yaitu : kacang-kacangan, nila, lada. Bahkan budidaya sutra disebutkan untuk sementara waktu, yang mana program-program ini menyebabkan beberapa pernyataan frustrasi yang luar biasa oleh Gubernur Jenderal Dirk Durven (1731). Ia sadar bahwa ide ini agaknya sia-sia,
[…] di negeri yang setelah dijelaskan lebih lanjut oleh para pegawai [Perusahaan] sendiri berpendapat bahwa hal tersebut tidak akan ada pengaruhnya. Pertama, karena negeri itu penuh dengan semut dan tempat tinggal penduduk asli yang sederhana dan kumuh, terbuat dari kayu, ditutupi jerami, dan dilindungi bambu. Mereka memiliki tempat tidur di lantai atas dan ternak mereka di lantai bawah. Kedua, karena penduduknya sangat malas sehingga sepanjang tahun mereka hanya menanam jagung (di Belanda dikenal dengan nama tepung Turki) untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Oleh karena itu, orang tidak mungkin berpikir bahwa mereka akan pindah tempat tinggal atau membangun rumah untuk tujuan [menangani produksi sutra] […]. (Van Goor 1988: 264-265.)32
Meskipun kemalasan orang Timor yang dianggap wajar memancing banyak komentar yang menjengkelkan dalam laporan-laporan tersebut, juga dirasakan bahwa posisi Belanda di Timor hampir tidak memungkinkan bagi mereka, yaitu para pegawai Kompeni guna memaksa sekutu-sekutu mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan rutin dengan memerintahkan atau dengan cara-cara yang kasar. Apabila mereka salah berbicara, maka kesetiaan sekutu dikhawatirkan berubah ke pihak Portugis.
Dalam sebuah memorandum dari tahun 1758, seorang Opperhoofd memberi tahu Opperhoofd yang akan menggantikannya dengan nada frustrasi : "Kerja rodi dan tugas-tugas yang sejak lama harus dilakukan oleh lima bupati utama, namun harus disampaikan dengan cara sedemikian rupa sehingga mereka tidak boleh dipaksa, tetapi diminta dengan halus dan didorong."
Apabila di Kupang, kelima raja sekutu sendiri tidak bisa dengan seenaknya di kontrol oleh Kompeni, maka bagaimana dengan kerajaan-kerajaan yang jauh dari Kupang yang berada di luar kendali Kompeni seperti Amanuban. Mungkinkah saat itu pihak Kompeni dapat secara leluasa menjajah, menindas dan mengangkat orang untuk menjadi raja di suatu tempat yang jauh dari yuridiksi kekuasaan Belanda di Kupang agar raja boneka Belanda ini menjadi kaki tangan Belanda yang menindas atas nama Belanda?.
Karena keterbatasan waktu dan text, maka saya sudahi tulisan ini untuk tulisan-tulisan lainnya yang akan datang. Semoga pembaca budiman tidak bosan-bosan membaca tulisan saya yang sederhana ini. Setidaknya para pembaca yang budiman bisa memahami dan tahu apa itu penjajajahan 350 tahun yang telah dilakukan oleh Belanda dan Portugis secara brutal dan diluar batas kemanusiaan ini yang akhirnya berhasil di akhiri oleh tangan Soekarno. Jasa-jasa Soekarno atas kebebasan rakyat Timor sangat layak dihormati sehingga patut diapresiasi dengan memberikan legasi bagi Pemerintahan Republik untuk bisa mengklaim tanah masyarakat Amanuban sebagai Kawasan Hutan Laob Tumbesi yang saat ini sangat merisaukan masyarakat Amanuban.
Apabila Rocky Gerung berkata “The Philosphy is mother of sience” maka saya Pina Nope berani berkata “The Philosphy is there but the History is mother of Philosophy”. Tanpa sejarah, kita tidak bisa memahami apa dan pikiran-pikiran seperti apa yang terbersit dalam benak para pendahulu kita.