Oleh : Modestus Aleuk Asuri (Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang).
Abstrak
Melalui sakramen tahbisan seorang imam terus-menerus ditandai dengan "Karakter yang tak terhapuskan" (can. 1008) dan secara definitif dimasukkan ke dalam negara klerikal. Karakter sakramental ini tidak pernah dapat dihapuskan, status yuridis seseorang sebagai anggota Keadaan klerikal mungkin hilang. Ini terjadi hanya melalui kematian atau prosedur yang dinyatakan dalam hukum. Imam tidak boleh menjalankan pelayanannya, atau tidak setia pada tugasnya sebagai imam, tetapi dia tetap seorang pendeta.
Dia mungkin meninggalkan Gereja atau benar-benar meninggalkan imannya, Namun dia tetap seorang ulama selamanya. Kode kami menyerukan tiga mode hilangnya negara klerikal (kan. 290): dengan hukuman pengadilan atau keputusan administratif, yang menyatakan ketidakabsahan penahbisan sakral; dengan hukuman pemecatan yang dijatuhkan secara sah; dan dengan reskrip Tahta Apostolik yang memberikannya kepada diakon hanya untuk perkara berat dan kepada para presbiter hanya untuk sebagian besar penyebab serius. Dengan hilangnya negara klerikal, seorang imam tidak lagi terikat oleh kewajiban apa pun dari negara ulama. Dia dilarang menggunakan kekuatan pesanan, tanpa mengurangi preskrip can. 976 (Meskipun seorang imam tidak memiliki Kemampuan untuk mendengar pengakuan, ia membebaskan secara sah dan sah setiap peniten apa pun di dalamnya bahaya kematian dari kecaman dan dosa apa pun, bahkan jika ada imam yang disetujui). Oleh Hilangnya negara klerikal, ia kehilangan semua kantor, fungsi, dan setiap delegasi kuasa. Dan seorang imam yang kehilangan status klerus dapat didaftarkan di antara para klerus lagi melalui reskrip Tahta Apostolik (kan. 293).
BAB I
PEDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sakramen perkawinan adalah tanda dan sarana penyaluran rahmat dari Kristus kepada semua umat beriman. Kendati, sakramen perkawianan merupakan hak bagi setiap orang baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini ,menjadi pilihan bebas sejauh tidak melanggar segala ketentuan dalam hukum yuridis. Karena itu, sebelum pernikahan dilakukakan, ada satu tahap dalam Gereja Katolik yang dinamakan penyelidikan kanonik untuk memastikan apakah kedua mempelai tersebut tidak terikat halangan-halangan sebagaimana yang dikatakan dalam kanon 1083-1094.
Dalam kanon ini terdapat kurang lebih dua belas halangan yang dapat menggagalkan perkawinan. Salah satu diantaranya adalah “tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci. Menilik fakta, dunia dewasa ini mencatat tidak sedikit imam atau mereka yang telah menerima tahbisan suci dan mereka yang terikat kaul public kemurnian dalam suatu tarekat religious tertentu memutuskan untuk meninggalkan status ini dan memilih untuk menikah. Fenomena ini menjadi suatu realitas yang menarik untuk dikaji dan dicermati dengan baik.
Hal ini dikarenakan masifnya perkembangan opini public yang menyatakan bahwa kendala utama seorang imam dan orang yang terikat kaul kemurnian sampai meninggalkan statusnya ini adalah ketidakmampuan untuk menjaga dan memelihara hidup selibat, padahal ada alasan lain yang dapat menyebabkan seseorang kehilangan statusnya ini sebagaimana yang tertera dalam kanon 290. Sementara di sisi lain, imam yang meninggalkan status klerikalnya karena memilih untuk hidup berkeluarga atau menikah, maka penikahan itu dikatakan tidak sah.
Dalam tulisan ini, penulis akan membahas siapa yang terikat tahbisan suci dan alasan mengapa tidak sahnya pernikahan seseorang yang terikat tahbisan suci.
1.2 Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi literatur. Metode studi literatur adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat, serta mengelolah bahan penelitian. Studi kepustakaan merup akan kegiatan yang diwajibkan dalam penelitian, khususnya penelitian akademik yang tujuan utamanya adalah mengembangkan aspek teoritis maupun aspek manfaat praktis. Studi kepustakaan dilakukan oleh setiap peneliti dengan tujuan utama yaitu mencari dasar pijakan / fondasi untuk memperoleh dan membangun landasan teori, kerangka berpikir, dan menentukandugaan sementara atau disebut juga dengan hipotesis penelitian. Sehingga para peneliti dapat menggelompokkan, mengalokasikan mengorganisasikan, dan menggunakan variasi pustaka dalam bidangnya.
Dengan melakukan studi kepustakaan, para peneliti mempunyai pendalaman yang lebih luas dan mendalam terhadap masalah yang hendak diteliti. Melakukan studi literatur ini dilakukan oleh peneliti antara setelah mereka menentukan topik penelitian dan ditetapkannya rumusan permasalahan, sebelum mereka terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data yang diperlukan. Data yang digunakan berasal dari textbook, journal, artikel ilmiah yang, dokumen- dokumen gereja, dan sumber pustaka lainnya yang berisikan tentang siapa saja yang menerima tahbisan suci dalam gereja Katolik dan bagaimana jika seorang yang terikat tahbisan suci menyatakan tekad untuk menikah?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Orang Terikat Tahbisan Suci
Selibat dalam Gereja Katolik Roma merujuk pada para pelayan tertahbis atau rohaniawan. Dalam Gereja Katolik Latin, semua pelayan tertahbis termasuk Imam merupakan laki-laki beriman yang memiliki kehendak dan kesediaan untuk mengungkapkan dan melaksanakan suatu komitmen pribadi yaitu untuk tidak menikah. Pelayan tertahbis adalah mereka yang menerima Sakramen Imamat dan membentuk hirarki Gereja. Hirarki ini terdiri dari para rohaniawan yang termasuk di dalamnya adalah uskup, imam, dan diakon yang menjalankan tugas pelayanan mereka dalam nama dan pribadi Kristus.
Imam dalam Gereja Katolik merupakan rohaniwan yang memiliki tanggungjawab untuk mengemban tugas Gereja. Terdapat Imam yang mengucapkan kaul dan juga tidak. Imam diosesan adalah rohaniwan yang tidak mengucapkan kaul dan mengabdikan diri sepenuhnya serta patuh pada keuskupan tertentu sehingga mereka bebas memiliki harta benda. Sedangkan imam biarawan adalah rohaniwan yang ditahbiskan dan mengikrakan ketiga kaul (Jacobs, 1987). Imam merupakan jabatan dalam Gereja, sedangkan biarawan adalah gaya hidup. Biarawan berjanji untuk hidup dalam ketaatan, kemurnian, dan juga kemiskinan. Ada biarawan yang menjadi seorang imam, dan ada yang tidak menjadi seorang imam, contohnya bruder. Menurut Kitab Hukum Kanonik, para imam biarawan tergabung ke dalam tarekat religius. Tarekat religius adalah serikat dimana para anggotanya menurut hukum masing-masing mengucapkan kaul publik kekal atau sementara. Masing-masing tarekat memiliki hukum dan nilai yang berbeda. Contoh tarekat religius yang ada di Indonesia adalah Benedektin, Trapis, Fransiskan, Dominikan, Karmelit, dan Agustinian. Dapat disimpulkan bahwa imam biarawan adalah rohaniwan yang ditahbiskan menjadi seorang imam dan menghidupi kaul. Mereka tergabung kedalam tarekat-tarekat dan memiliki hukum yang berbeda satu sama lain. Mereka memiliki gaya hidup masing-masing sesuai dengan tarekat yang dihidupi. Bukan hal yang mudah dan instan untuk dapat menjadi seorang imam biarawan. Untuk bisa ditahbiskan menjadi seorang imam biarawan membutuhkan pendidikan bertahun-tahun yang harus ditempuh. Tak ayal banyak yang gagal dan berhenti di tengah jalan. Namun proses panjang inilah yang pada akhirnya dapat membentuk diri seseorang menjadi pribadi yang matang. Sehingga dengan proses tersebut seseorang dapat menjadi layak untuk ditahbiskan menjadi seorang imam biarawan.
Proses tersebut membantu imam biarawan memiliki nilai-nilai yang dapat dipegang dalam perjalanan imamatnya. Dengan demikian, proses tersebut tidak bisa dilepaskan dalam hidup seorang imam biarawan karena menjadi bagian hidup yang ikut membentuk mereka hingga menjadi seorang imam biarawan.
2.2 Halangan Perkawinan Mantan Imam Dan Biarawan Biarawati
Sakramen imamat dan kaul kemurnian yang diterima dan diungkapkan seorang imam atau biarawa biarawati merupakan sesuatu yang permanen dan tak terhapuskan. Sakramen ini memiliki karakter sam dengan sakramen baptis dan penguatan. Selibat adalah sebuah jalan hidup yang membuat imam lebih produktif dalam mengembangkan kehidupan rohaniahnya, melayani umat Allah dan mewujudkan penyerahan diri yang total kepada Tuhan.
Kehidupan selibat adalah bukti kasih tanpa syarat, dan mendorong kepada kasih yang terbuka kepada semua orang (Paus Paulus VI, Sacerdotalis Caelibatus). Demikian juga, “Perkawinan adalah jalan ilahi di dunia. Maksud perkawinan adalah untuk membantu pasangan menguduskan mereka sendiri dan orang lain. Untuk alasan ini mereka menerima rahmat istimewa di dalam Sakramen Perkawinan. Mereka yang terpanggil untuk menikah akan, dengan rahmat Tuhan, menemukan di dalam kondisi mereka setiap hal yang mereka perlukan untuk hidup kudus dan untuk lebih mengikuti jejak Kristus setiap hari dan untuk menuntun semua yang hidup bersama mereka kepada Tuhan”.
Bagi seorang imam Katolik, selibat merupakan sebuah pilihan dan sekaligus sebuah kewajiban. Dikatakan pilihan karena tidak ada paksaan untuk menjadi seorang imam. Itu sebuah pilihan berdasarkan keyakinan akan sebuah panggilan hidup baginya. Ketika seseorang merasa dipanggil untuk menjadi imam, dia juga diberi anugerah untuk menjalani hidupnya sebagai imam. Namun selibat bukanlah syarat untuk menjadi imam. Orang yang menikah dapat menjadi imam.
Selibat bagi imam menjadi pilihan agar dia dapat melaksanakan tugasnya sebagai imam secara total tanpa terbagi-bagi. Pada pihak lain selibat juga merupakan sebuah kewajiban karena diwajibkan secara hukum (KHK 278). Bahkan dalam Pasal 278 § 3 dinyatakan sebagai berikut: “Uskup diosesan berwenang menetapkan norma-norma yang lebih rinci dalam hal itu dan untuk mengambil keputusan mengenai ditaatinya kewajiban itu dalam kasus-kasus khusus”. Maka jika imam menikah, perkawinannya dinyatakan tidak sah (KHK 1087).
Perkawinan Mantan Imam Sakramen Imamat memiliki karakter yang sama dengan Sakramen Baptis dan Sakramen Penguatan. Ketiganya diterimakan hanya satu kali seumur hidup. Masing-masing dari ketiga sakramen tersebut menerangkan “tanda rohani yang tidak terhapuskan” pada diri penerima. Karenanya, ketiga sakramen ini tidak dapat diterima ulang dan berlangsung selamanya. Tanda rohani ini tidak dapat hilang karena dosa berat, meskipun rahmat pengudusan dapat hilang karena dosa (bdk. Katekismus Gereja Katolik, No. 1581, 1582). Tapi yang menjadi bahan pertanyaan bagi umat beriman adalah: bagaimana jika seorang imam meninggalkan imamatnya atau kehilangan status klerikalnya? KHK 290 membedakan tahbisan imam yang sah dan tidak sah.
Tahbisan imam yang sah tidak dapat dihapus oleh siapa pun. Karena itu, imam yang menerima tahbisan imamat secara sah, tidak akan kehilangan tanda sakramental imamatnya dan olehnya mereka tetap terikat kewajiban untuk menjalani hidup tarak sempurna (selibat). Jika imam seperti itu secara sepihak meninggalkan imamatnya dan hendak menikah, maka pernikahannya adalah tidak sah. Namun berbeda kalau tahbisannya tidak sah. Imam yang menerima tahbisan dan tahbisannya dinyatakan tidak sah, maka imam demikian dapat menikah dengan sah ketika meninggalkan status imamnya. Harus diingat, penentuan ketidakabsahan tahbisan imamatnya dilakukan oleh Tribunal dan diputuskan oleh Roma.
Biasanya ada pengumuman resmi tentang ketidakabsahan sebuah tahbisan imam berdasarkan putusan pengadilan atau dekret administratif yang menyatakan tidak sahnya tahbisan suci (Pasal 290 ayat 1). Selain itu, Pasal 290 juga berbicara tentang pemecatan imam karenabeberapa alasan seperti imam yang murtad dari iman Katolik, heretik, skismatik terkena ekskomunikasi latae stentiae (1364, §1; 1336, §1), imam yang membuang hosti atau menyimpannya dengan tujuan sakrilegi (Pasal 1367), imam yang mencoba menikah secara sipil (1394), imam yang melakukan kekerasan terhadap Paus (1370), dan sebagainya. Ketika mereka ini dipecat dari status imamnya, mereka tetap terikat dengan kewajiban selibater sampai mendapat dispensasi dari selibat yang diberikan hanya oleh Paus. Karena itu, jika mereka menikah sebelum mendapatkan dispensasi dari selibat, pernikahannya juga adalah tidak sah. Tetapi jika mereka menikah sesudah menerima dispensasi dari selibat, maka mereka menikah dengan sah. Biasanya, proses memperoleh dispensasi dari selibat disebut “laisasi” yang berarti kembali ke status awam. Prosedur dari proses “laisasi” dapat dilihat dalam Sacred Congregation for the Doctrine of the Faith (SCDF) January 13, 1971, AAS 63 (1971).
Seorang imam yang telah kembali ke status awam dan tidak lagi bertindak sebagai klerikus, ia tetap memiliki tanda sakramental Sakramen Tahbisan. Secara teknis, seandainya ia melayani suatu sakramen sesuai dengan norma-norma Gereja, maka sakramen yang dirayakannya adalah sungguh sah. Tetapi, sakramen tersebut menjadi tidak halal, jika klerus telah kehilangan statusnya dan tidak lagi memiliki wewenang untuk bertindak sebagai seorang imam. Jika seorang imam yang telah kembali ke status awam memutuskan untuk kembali aktif dalam karya pastoral, ia tidak boleh ditahbiskan lagi. Dia hanya membutuhkan izin dari Paus dan memenuhi segala persyaratan yang diwajibkan oleh otoritas Gereja (Pasal 293). Setelah diterima kembali melalui Reskrip Takhta Apostolik, imam tersebut dapat menjalankan fungsi imamatnya seperti dahulu kala.
Bagi imam yang sudah dicabut status imamnya dan sudah mendapatkan surat resmi laisasi, mereka sudah sah kembali menjadi awam. Bagi mereka ini, perkawinan bisa dilaksanakan di dalam tata hokum Gereja Katolik. Kita mungkin kerap melihat di dalam Gereja ada orang yang dulunya imam, kemudian menikah dengan seorang perempuan dan perkawinan mereka diberkati oleh Gereja. Ini terjadi karena keimaman mereka sudah dicabut dan mereka sudah menjadi awam murni lagi. Kita tak perlu heran dengan hal tersebut. Di dalam masyarakat kita, masih banyak umat yang tidak bisa menerima imam yang sudah menikah. Mereka kerap kali dikucilkan, dicemoohkan, dan dijauhkan dari masyarakat. Hal ini tidak baik. Sama seperti umat lainnya, mereka memiliki hak yang sama. Kita sebagai umat beriman harus bisa menghargai keputusan mereka maupun keputusan-keputusan resmi yang dilakukan oleh Gereja itu sendiri, termasuk keputusan memberikan laisasi kepada imam dan memberikan Sakramen Perkawinan kepada mantan imam. Kita jangan menghormati orang karena status yang dimilikinya. Ketika ia masih imam, kita sangat menghormatinya dan ketika ia sudah menjadi awam, penghormatan kita menjadi berkurang atau hilang. Ini bukan sikap orang Kristiani yang dewasa. Kristus tidak menghendaki demikian. Bahwa kita kecewa ia meninggalkan imamatnya, boleh-boleh saja. Namun, sebagai orang Kristiani kita harus tahu proses bagaimana ia mendapatkan laisasi. Karena tidak semua imam yang meninggalkan imamatnya bisa memperoleh laisasi. Dibutuhkan penyelidikan mendalam agar laisasi dimungkinkan.
Demikian pula, peneguhan pernikahan mantan imam yang diberikan Gereja bukan secara sembarangan saja. Ia sudah melewati prosedur dan penyelidikan. Maka, jika Gereja sudah memberikannya, keputusan itu harus dihargai. Sebagai umat kita perlu bersikap dewasa dalam iman dan menghargai sesama.
Selain imam, ada juga biarawan-biarawati serta para rohaniwan yang telah mengucapkan kaul kekal yang kemudian meninggalkan biara mereka. Untuk mereka berlaku hal yang sama dengan imam yang meninggalkan imamat. Mereka baru bisa menjadi awam jika sudah ada surat dan keputusan resmi Gereja atas status mereka. Jika demikian, maka sejauh tidak ada halangan lain, mereka bisa mendapatkan Sakramen Perkawinan secara legal di dalam Gereja Katolik. Kaul membuat seseorang menjadi kaum religius atau biarawan/ wati. Dengan kaul kemurnian para religius menyatakan komitmen total mengikuti Kristus dengan hati tak terbagi, mempersembahkan seluruh dirinya untuk pelayanan Kerajaan Allah. Penyerahan diri yang total membawa serta kewajiban bertarak sempurna dalam selibat.
Dengan demikian, orang yang mengucapkan kaul kemurnian sesungguhnya terikat kebebasannya untuk menikah. Jika mereka menikah, maka pernikahan itu tidak sah. KHK 1088 menyatakan, “ Adalah tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang terikat kaul kemurnian yang bersifat publik dan kekal dalam suatu tarekat religius.” Kita perlu ingat, kasus mereka tidak sama dengan frater atau biarawan-biarawati atau para rohaniwan yang belum mengikrarkan kaul kekal. Bagi mereka yang belum mengucapkan kaul kekal, mereka masih dipandang sebagai awam. Oleh karena itu, mereka memiliki hak yang sama dengan awam lainnya untuk mendapatkan pengukuhan perkawinan sejauh tidak ada halangan lainnya. Umat beriman juga hendaknya memberikan penghormatan terhadap keputusan yang mereka ambil bagi hidup mereka.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sakramen imamat dan kaul kemurnian yang diterima dan diungkapkan seorang imam atau biarawa biarawati merupakan sesuatu yang permanen dan tak terhapuskan. Sakramen ini memiliki karakter sam dengan sakramen baptis dan penguatan. Karena itu, imam yang menerima tahbisan imamat secara sah, tidak akan kehilangan tanda sakramental imamatnya dan olehnya mereka tetap terikat kewajiban untuk menjalani hidup tarak sempurna (selibat). Jika imam seperti itu secara sepihak meninggalkan imamatnya dan hendak menikah, maka pernikahannya adalah tidak sah. Tetapi jika mereka menikah sesudah menerima dispensasi dari selibat, maka mereka menikah dengan sah. Biasanya, proses memperoleh dispensasi dari selibat disebut “laisasi” yang berarti kembali ke status awam.
DAFTAR PUSTAKA
dr. Yohanes Servatius Lon, M.A. HUKUM PERKAWINAN SAKRAMENTAL Dalam GEREJA KATOLIK. Yogyakarta: Kanisius, 2019.
Konferensi Waligereja Indonesia. Kitab Hukum Kanonik. Edited by Mgr. Robertus Rubiyatmoko. 5th ed. Jakarta, 2018.
Meikel Kkaliks Leles Kancak. “PERKAWINAN YANG TAK TERCERAIKAN MENURUT HUKUM KANONIK.” Lex et Societatis II, No.3 (2014).
Penelitian, Lembaga, and D A N Pengabdian. “PANDUAN PENYUSUNAN STUDI LITERATUR DISUSUN OLEH?: EKA DIAH KARTININGRUM , MKes MOJOKERTO 2015,” 2015.
Turu, Don Wea S. “Hilangnya Status Klerikal Seorang Imam Berdasarkan Kitab Hukum Kanonik 1983 (Kanon 290-293)” 1983 (1983).